Rabu, 23 Oktober 2013

FILSAFAT SAINS


SISTEMATIKA FILSAFAT SAINS

A. Ontologi Sains
1.    Pengertian Ontologi Sains
Ontologi berasal dari bahasa Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya (Suhartono: 111). Kata Yunani onto berarti “yang ada secara nyata,” kenyataan yang sesungguhnya. Ontologi dalam kaitannya dengan filsafat yaitu, kemampuan pemikiran (pola pikir) dan kajian yang membahas hakikat atau kebenaran sesuatu yang ada.
Ontologi ilmu atau science secara harfiah berasal dari kata Latin scire yang berarti mengetahui. Karena itu, science dapat diartikan “situasi” atau fakta mengetahui, sepadan dengan pengetahuan (knowledge), yang merupakan lawan dari intuisi atau kepercayaan. Selanjutnya, kata science mengalami perkembangan dan perubahan makna menjadi “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk mengetahui sifat dasar atau prinsip dari apa yang dikaji. Dengan demikian, sains yang berarti “pengetahuan” berubah menjadi “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi indrawi.” Perkembangan berikutnya, lingkup sains hanya terbatas pada dunia fisik, sejalan dengan definisi lain tentang sains sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik”.
Dengan mensyaratkan observasi, sains harus bersifat empiris, baik berhubungan dengan benda-benda fisik, kimia, biologi, dan astronomi maupun berhubungan dengan psikologi dan sosiologi. Inilah karakter sains yang paling mendasar dalam pandangan epistemologi konvensional. Sains merupakan produk eksperimen yang bersifat empiris. Eksperimen dapat dilakukan, baik terhadap benda-benda mati (anorganik) maupun makhluk hidup sejauh hasil eksperimen dapat diobservasi secara indrawi.
Sains merupakan ilmu yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita merupakan salah satu dari bagian pengetahuan sains yang terkadang kita sebagai manusia belum mengenal dan mengetahuai lebih luas tentang fenomena alam tersebut. Contohnya adalah bagaimana manusia itu bisa berkembang dari bayi hingga tua ynag dijelaskan dalam Biologi. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam.
Ontologi adalah salah satu bagian penting dalam filsafat yang membahas atau mempermasalahkan hakikat-hakikat semua yang ada baik abstrak maupun riil. Ontologi disini membahas semua yang ada secara universal, berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan meliputi semua realitas dalam segala bentuknya.
1) Sains Kealaman
·      Astronomi;
·      Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
·      Kimia: kimia organik, kimia teknik;
·      Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;
·      Ilmu Hayati: biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial
·      Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
·      Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi politik.
·      Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
·      Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
·      Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional


3) Humaniora
·      Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari;
·      Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial);
·      Filsafat: logika, ethika, estetika;
·      Bahasa, Sastra;
·      Agama: Islam, Kristen, Confusius;
·      Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial).

2.    Aliran-Aliran Ontologi Sains
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi.
a.         Aliran Monoisme
Monisme adalah konsep metafisika dan teologi bahwa hanya ada satu substansi dalam alam (http://id.wikipedia.org/wiki/Monisme idunduh tangaal 01-10-2012). Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :
1)      Materialisme
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu. Menurut Materialisme hakikat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit muncul dari benda (Tafsis, 2001). Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini ser           ing juga disebut dengan naturalisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam, (Suriasumantri, 1996 : 64).
2)      Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu.

b.        Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. aliran dualisme mudah ditebak. Yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan muncul dari benda (Tafsir, ahmad: 2001)
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M), (Bakhtiar, 2007 : 142).
c.         Aliran Pluralisme
Pluralisme (bahasa inggris : pluralism), terdiri dari dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam paham. Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
d.        Aliran Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa yunani yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya, dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
e.         Aliran Agnostisisme
Agnostisisme Kata agnosticisme berasal dari bahasa grik. Ignotos yang berarti unknown artinya not, gno artinya know (Suwarda Endraswara, 2012 : 108). Agnostisisme adalah paham ketuhanan yang terletak antara teisme dan ateisme. Mereka itu bertuhan tidak dan tidak bertuhan juga tidak (Tafsir, Ahmad: 2001). Pahaam ini menjelaskan kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat yang ada seperti air, api, batu, abtrak, hakikat materi dam hakikat rohani. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri.

3.    Manfaat Mempelajari Ontologi
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai berikut:
1)      Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada;
2)      Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi;
3)      Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika, (Farina,2007:tersedia http://permenungan.multiply.com)
Dari penjelasan tersebut, dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari suatu benda atau sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah).

B.       Epistimologi Sains
1.    Pengertian Epistemologi Sains
Cabang filsafat yang secara khusus merefleksikan pertanyaan-pertanyaan mendasar sekaligus menyeluruh tentang pengetahuan yaitu epistemologi. Secara etimologis, epistemologis berasal dari Yunani, yakni episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ataupun ilmu. Oleh karena itu, epstemologis adalah suatu cabang dari filsafat yang hendak membuat refleksi kritis terhadap dasar-dasar dari pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epistemologi sering juga disebut sebagai teori pengetahuan (Theori of knowledge), (Wattimena, 2008:29).
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya: metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis, (Zahra. 2005. http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi).
Kata sains berasal dari bahasa latin ” scientia ” yang berarti pengetahuan. berdasarkan webster new collegiate dictionary definisi dari sains adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam. pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan melalui metode tersebut atau bahasa yang lebih sederhana, jadi epistemologi sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu. (http: // definisimu. blogspot. com/2012/08/ definisi-sains.html)
Sains dengan definisi diatas seringkali disebut dengan sains murni, untuk membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a.     Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam
b.     Sosial sains atau Ilmu Pengetahuan Sosial
Berikut ini adalah contoh dari begitu banyak pembagian bidang-bidang sains, khususnya natural sains atau IPA
1)   Biologi (Biology) : Anatomi,biofisika,genetika, Ekologi, Fisiologi, taksonomi, virulogi, zoologi, dll
2)   Kimia (Chemistry) : Kimia Analitik, Elektrokimia, Kimia organik, kimia anorganik, ilmu material, kimia polimer, thermokimia
3)   Fisika (Physics) : Astronomi, fisika nuklir, kinetika, dinamika, fisika material, optik, mekanika quantum, thermodinamika
4)   Ilmu Bumi (Earth Science) : Ilmi lingkungan, geodesi, geologi, hydrologi, meteorologi, paleontologi, oceanograf
2.    Sumber Sains Saling Melengkapi: Wahyu, Rasio/akal, Indera, Intuisi
a.    Wahyu
Hubungan antara ilham dan wahyu, Ahmad Zuhri mengutip pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai sumber yang sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya adalah cara memperoleh ilmu (Ahmad Zuhri,  Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Alquran Versi Imam Al-Ghazali, (Ahmad. 2007:30).
Islam meyakini bahwa sumber utama dari segala ilmu dan pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi. Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu menekankan pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran manusia dalam memeroleh ilmu pengetahuan tak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri, yang lalai dan malas menggunakan segala potensi yang telah dianugerahkan kepadanya.
Kalangan kaum muslimin terdapat dua tipe pemikiran. Pertama, wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan kedua, wahyu sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong kepada kelompok pertama. Sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi termasuk kelompok kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada di antara dua kelompok tersebut. Ia menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan indera, akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu itu sendiri, (Mahdi Ghulsyani.Filsafat Sains Menurut Alquran. 2009:131).
b.    Rasio/Akal
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c.    Senses/Indera
Sebagai salah satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, indera mempunyai peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam sekeliling kita.
Bagi kelompok filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera merupakan sumber pemahaman untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar) yang sederhana, bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran, ( Al-Sadr, 1977:59). Ia mencontohkan betapa kesimpulan teori gravitasi oleh ilmuan alam dikarenakan dengan hasil penemuan hukumnya bukan menginderai hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.
Ibnu Sina, dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa), mengatakan bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam (batin). Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu dirasionalkan oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar maksudnya dengan panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-sama’), mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa dengan sentuhan (al-lam)
d.    Intuisi
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhir.  Ibnu Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
Sejarah realitas pengalaman mistik dalam Islam dapat dilihat antara lain dengan munculnya tokoh-tokoh besar di bidang ini, semisal Ibnu Arabi; seorang mistikus terbesar sepanjang sejarah perkembangan tasauf dengan karya-karya masterpiece-nya antara lain Fusus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyah tidak lain merupakan hasil pengalaman-pengalaman intuitifnya, atau Ibnu Tufail dengan “Hayy bin Yaqzan”-nya.
Di sisi lain, Muhammad Taqi Ja’far (seorang ahli tasauf yang mempopulerkan istilah tasauf positif) menilai bahwa terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasauf dengan sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasauf sama seperti menutup dua celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir. Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara, alat-alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah pengatur dalam diri kita untuk bisa mempersepsi fenomena sensual, aktifitas mental, abstraksi untuk generalisasi, angka-angka, simbol-simbol pelaksana operasi matematik dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara manusia dan kenyataan. (Bakhtiar, 2005).

3.      Cara Memperoleh Pengetahuan Sains
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya danalam (Tafsir. 2010:6). Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.  
Bagaimana membuatnya dan apa alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Empirisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Namun, empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.
Positivisme  mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang terukur. “terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Metode ilmiah mengatakan, untuk memperoleh yang benar dilakukan langkah berikut : logico-hypothetico-verificatif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris. 
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam) tadi.
Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme
 

Rasionalisme
 

Empirisme
 

Positivisme


 
Metode Ilmiah


 
Metode Riset

Model-model Penelitian
 


Aturan untuk                                       Mengatur Alam

A.      Aksiologi Sains
1.    Pengertian Aksiologi Sains
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai, sesuatu yang berharga dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Tafsir (2007: 25) berpendapat bahwa aksiologi adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat perkembangannya.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar (Jujun, 1996 : 136).
2.    Kegunaan Aksiologi Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.Ilmu tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Menurut (Samad, 2012, tersedia http/philosophycomunity.com) Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan yaitu;
1)   Etika
Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai Sang Pencipta.
2)   Estetika
Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Aksiologi berkenaan dengan nilai guna ilmu,baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.Berkaitan dengan hal ini,menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun (1996 : 137)  yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal,yaitu:
2)   Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran, jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
3)   Filsafat sebagai pandangan hidup
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
4)    Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia, (Bakhtiar, 2007:165)
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian.Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, (Bakhtiar, 2007:166).

3.    Objek Kajian Aksiologi Sains
a.         Makna Nilai Dalam Perspektif
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia ddan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan , tingkah laku, atau yang lainya.
1)   Aksiologi Sains Barat
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan beragam kemudahan bagi kehidupan manusia. Namun selain itu, di pihak lain ilmu juga dapat berakibat sebaliknya yaitu membawa kehancuran dan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan apakah berkaitan erat dengan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai moral dan agama sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus (1473-1543) mengemukakan teori bumi yang berputar mengelilingi matahari, sedangkan ajaran agama pada saat itu menilai sebaliknya. Disitulah timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik, yang akhirnya berujung pada pengadilan Galileo (1564-1642) yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang berlangsung selama kurang lebih dua setengah abad ini mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan Barat berjuang untuk menegakkan ilmu berdasar penafsiran alam sebagaimana semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah pertarungan itulah para ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu, artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya (Suriasumantri, 1999:233).
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan teknologi yang menimbulkan ekses yang negative terhadap masyarakat? Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat:
a)   Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai (Suriasumantri, 1999:235). Dalam hal ini, ilmuwan hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk.
b)   Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan harus ditujukan untuk kepentingan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan, dengan alasan bahwa ilmu:
·      Secara faktual telah digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan,
·      Ilmu telah berkembang dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan, dan
·      Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial (Suriasumantri, 1999:235).
Dalam kaitannya dengan kaidah moral, pengembangan ilmu dan teknologi jika mengabaikan nilai-nilai etis maka akan menimbulkan dampak buruk. Penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana perang, penemuan detektor dapat mengintai kenyamanan dan privasi orang lain, penemuan bayi tabung dapat mengancam peradaban perkawinan, maupun contoh lainnya.
2)   Aksiologi Sains Islam
Sejak awal kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah "iqra'" atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra' inilah, umat Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami, mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi "bismi rabbik", dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33).
Ilmu pengetahuan dalam sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta.  Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya, dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan pada material duniawi.
Solusi yang diberikan Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur'an agar tidak bebas nilai. Nilai dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu dan kehendak Allah. Melakukan yang wajib adalah diperintah oleh Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. adapun jika melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang buruk.
Seorang ilmuwan muslim tidak hanya diharapkan berkata benar,namun juga baik,indah dan bernilai, misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit kelamin harus memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan muslim berkata bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam. Contoh lain dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan istri yang tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya.
Prinsip-prinsip semua ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur'an, dan Al Qur'an dan hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim berangkat dari membaca Al Qur'an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377), Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).

3)   Perbandingan Aksiologi Sains Islam dan Barat
Dalam kaitannya dengan aksiologi, Sains Barat mengakui otonomi ilmu secara murni dengan kebebasan mempelajari ilmu sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan nilai moral, secara garis besar sains Barat terbagi menjadi dua pandangan:
·      Golongan ilmuwan yang menganggap bahwa ilmu haruslah berdiri atas otonominya sendiri, netral, dan tidak terikat pada nilai moral apapun.
·      Golongan yang berpendapat bahwa penggunaan ilmu harus tetap berlandaskan pada moral dan etika tanpa merendahkan martabat manusia.
Adapun aksiologi sains Islam berpandangan bahwa:
·      Sumber ilmu dan nilai yang utama dalam Islam adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Kedua sumber ini mengajar manusia nilai-nilai etika dan estetika, sosial, keadilan, keikhlasan, kejujuran, kesopanan, kesetiaan, amanah, tanggungjawab dan lainnya.
·      Setiap muslim wajib mempelajari Al-Quran dan Al-Sunnah, memahaminya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya.
·      Sistem nilai dalam Islam ditetapkan oleh Allah dan dinilai olehNya, setiap muslim terikat dengan nilai ini.

b.        Sains Bebas Nilai (Volue Free) Versus Sains Terikat Nilai  (Volue Bound)
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian (Bebas Mutlak). Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Dengan demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia.
Jika dipahami kembali, makna bebas dapat memeiliki dua makna. Pertama, kemungkinan unutuk memilih. Kedua, kemampuan atau hak untuk menentukan subjeknya. Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat berupa argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain. Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.  
Dalam kehidupan sehari-hari, tentunya pengetahuan sains memiliki nilai guna yang membatu hubungan kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Paling sedikit ada tiga kegunaan teori sains antara lain sebagai alat eksplanasi, sebagai alat peramal dan sebagai alat pengontrol.
1)      Teori Sebagai Alat Eksplanasi
Sains merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan dengan sistem lainnya dalam mempelajari masa lampau, menjalani masa sekarang, serta mempersiapkan untuk masa depan, (T. Jacob, 1993). Menurut teori sains pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai atau sering disebut broken home, pada umumnya akan berkembang menjadi anak yang nakal. Penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari kedua orang tuanya. Padahal pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam pertumbuhan anak menuju dewasa.
2)      Teori Sebagai Alat Peramal
Ketika membuat eksplanasi, biasanya para ilmuwan telah mengetahui faktor yang menyebabkan timbulnya suatu gejala. Dari faktor tersebut para ilmuwan dapat membuat sebuah ramalan atau prediksi. Sebagai contoh, jika banyak kasus perceraian antara hubungan rumah tangga, maka dapat diramalkan bahwa kenakalan remaja akan meningkat, meningkatnya aksi anarkis remaja seperti pada kasus geng motor.
3)      Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan atau prediksi dan alat pengontrol. Perbedaan antara prediksi dengan alat pengontrol adalah prediksi lebih cenderung bersifat pasif, karena ketika timbul gejala tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi keadaan atau kondisi tertentu pula. Sedangkan alat pengontrol lebih bersifat aktif terhadap sesuatu keadaan, contohnya kita membuat tindakan efektif yang mampu meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari adanya suatu gejala tersebut.
Kita mengambil contoh seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni jika banyak kasus perceraian maka timbul prediksi kenakalan remaja akan meningkat. Dalam kasus ini kenakalan remaja disebabkan oleh minimnya perhatian orang tua terhadap perkembangan emosional anak mereka, sehingga mereka mencari sendiri guru yang mampu mengajari mereka bagaimana cara bertahan hidup. Untuk mencegah meningkatnya kenakalan remaja yang disebabkan oleh perceraian orang tua mereka, maka harus diadakannya tindakan yang preventif dari kerabat dekat mereka seperti kakek atau nenek, paman atau bibi yang menggantikan peran orang tua mereka. Tindakan inilah yang disebut dengan ilmu sains sebagai alat pengontrol.

Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu. Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah sains bebas nilai. Nah, bebas nilai (value free) itulah yang disebut sains netral; sedangkan lawannya ialah sains terikat, yaitu terikat nilai (value bound). Sekarang, manakah yang benar, apakah sains seharusnya value free atau value bound? Apakah sains itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?
Apa untungnya bila sain netral? Bila sains itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sains sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sains akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian (Tafsir, 2004:16).
Tatkala akan meneliti kerja jantung manusia, orang yang beraliran sains tidak netral akan mengambil mungkin jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia. Orang yang beraliran sains netral mungkin akan mengambil orang gelandangan untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sains value bound, dalam epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu, sementara orang yang menganut sains value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau tidak.
Orang yang beraliran sains netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sains. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita ambil paham sains netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.  Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum.
Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi. Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat saja menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa pertimbangan nilai. Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau  menyimpang darimaksud penciptaan sain. Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia. Sementara itu, paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi manusia. Kata kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti akan membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah masalah bagi manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah kita memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral. Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar