SISTEMATIKA
FILSAFAT SAINS
A.
Ontologi Sains
1. Pengertian
Ontologi Sains
Ontologi berasal dari bahasa Yunani on (ada), dan ontos berarti keberadaan. Sedangkan logos berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai
yang ada dan keberadaannya (Suhartono:
111). Kata Yunani onto berarti “yang ada secara nyata,” kenyataan yang
sesungguhnya. Ontologi dalam kaitannya dengan filsafat yaitu,
kemampuan pemikiran (pola pikir) dan kajian yang membahas hakikat atau
kebenaran sesuatu yang ada.
Ontologi ilmu atau science secara
harfiah berasal dari kata Latin scire yang berarti mengetahui. Karena itu,
science dapat diartikan “situasi” atau fakta mengetahui, sepadan dengan
pengetahuan (knowledge), yang merupakan lawan dari intuisi atau kepercayaan.
Selanjutnya, kata science mengalami perkembangan dan perubahan makna menjadi
“pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk mengetahui sifat dasar atau prinsip
dari apa yang dikaji. Dengan demikian, sains yang berarti “pengetahuan” berubah
menjadi “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi indrawi.”
Perkembangan berikutnya, lingkup sains hanya terbatas pada dunia fisik, sejalan
dengan definisi lain tentang sains sebagai “pengetahuan yang sistematis tentang
alam dan dunia fisik”.
Dengan mensyaratkan observasi, sains
harus bersifat empiris, baik berhubungan dengan benda-benda fisik, kimia,
biologi, dan astronomi maupun berhubungan dengan psikologi dan sosiologi.
Inilah karakter sains yang paling mendasar dalam pandangan epistemologi
konvensional. Sains merupakan produk eksperimen yang bersifat empiris.
Eksperimen dapat dilakukan, baik terhadap benda-benda mati (anorganik) maupun
makhluk hidup sejauh hasil eksperimen dapat diobservasi secara indrawi.
Sains merupakan ilmu yang tidak pernah
lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Fenomena-fenomena yang terjadi di
sekitar kita merupakan salah satu dari bagian pengetahuan sains yang terkadang
kita sebagai manusia belum mengenal dan mengetahuai lebih luas tentang fenomena
alam tersebut. Contohnya adalah bagaimana manusia itu bisa berkembang dari bayi
hingga tua ynag dijelaskan dalam Biologi. Sains dalam hal ini merujuk kepada
sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan
dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang
terjadi di alam.
Ontologi adalah salah satu bagian
penting dalam filsafat yang membahas atau mempermasalahkan hakikat-hakikat
semua yang ada baik abstrak maupun riil. Ontologi disini membahas semua yang
ada secara universal, berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan
meliputi semua realitas dalam segala bentuknya.
1) Sains
Kealaman
·
Astronomi;
·
Fisika: mekanika,
bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir;
·
Kimia: kimia organik, kimia
teknik;
·
Ilmu Bumi:
paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi;
·
Ilmu Hayati:
biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial
·
Sosiologi: sosiologi
komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan
·
Antropologi:
antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi politik.
·
Psikologi: psikologi
pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal;
·
Ekonomi: ekonomi
makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan;
·
Politik: politik dalam
negeri, politik hukum, politik internasional
3) Humaniora
·
Seni: seni abstrak,
seni grafika, seni pahat, seni tari;
·
Hukum: hukum pidana,
hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial);
·
Filsafat: logika,
ethika, estetika;
·
Bahasa, Sastra;
·
Agama: Islam, Kristen,
Confusius;
·
Sejarah: sejarah
Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial).
2. Aliran-Aliran Ontologi Sains
Dalam mempelajari
ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran
dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut
pandang mengenai ontologi.
a.
Aliran
Monoisme
Monisme adalah konsep metafisika dan teologi bahwa
hanya ada satu substansi dalam alam (http://id.wikipedia.org/wiki/Monisme
idunduh tangaal 01-10-2012). Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak
mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang
asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan
sumber yang
pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh
filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa
alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke
dalam dua aliran :
1)
Materialisme
Materialisme merupakan faham atau aliran yang
menganggap bahwa dunia ini tidak ada selain materi atau nature (alam) dan dunia
fisik adalah satu. Menurut Materialisme hakikat benda adalah materi, benda itu
sendiri. Rohani, jiwa, spirit muncul dari benda (Tafsis, 2001). Aliran ini
menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini
ser ing juga disebut dengan
naturalisme. Aliran ini menganggap
bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga
disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran
ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.
Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan
alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370
SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak
jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan
asal kejadian alam, (Suriasumantri, 1996 : 64).
2)
Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide
dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Idealisme
diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak.
Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia
berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Dalam perkembangannya,
aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada mesti ada idenya yaitu konsep universal dari
tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan
saja dari alam ide itu.
b.
Aliran
Dualisme
Aliran ini berpendapat
bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam
hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. aliran dualisme mudah
ditebak. Yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, material dan imaterial,
benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan
muncul dari benda (Tafsir, ahmad: 2001)
Tokoh paham ini adalah
Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia
menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia
ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode
(1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini
pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes
(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga
Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716 M), (Bakhtiar, 2007 : 142).
c.
Aliran
Pluralisme
Pluralisme (bahasa inggris : pluralism), terdiri dari
dua kata plural (=beragam) dan isme (=paham) yang berarti beragam pemahaman,
atau bermacam-macam paham. Aliran
ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya
nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak
unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada
masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa
substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910
M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
d.
Aliran
Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa yunani yang berarti
nothing atau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah
nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.
Doktrin tentang nihilisme
sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias
(485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak
dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia
tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini
adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya, dunia terbuka
untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada
suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.
e.
Aliran
Agnostisisme
Agnostisisme Kata agnosticisme berasal dari bahasa
grik. Ignotos yang berarti unknown artinya not, gno artinya know (Suwarda
Endraswara, 2012 : 108). Agnostisisme adalah paham ketuhanan yang terletak
antara teisme dan ateisme. Mereka itu bertuhan tidak dan tidak bertuhan juga
tidak (Tafsir, Ahmad: 2001). Pahaam ini menjelaskan kemampuan manusia dalam
mengetahui hakikat yang ada seperti air, api, batu, abtrak, hakikat materi dam
hakikat rohani. Paham ini mengingkari
kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun
hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos,
yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know.
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat
kita kenal.
Aliran ini dapat kita
temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar
(1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai
suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali
unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan
pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya
yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya
sendiri.
3.
Manfaat
Mempelajari Ontologi
Ontologi yang merupakan salah
satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya sebagai
berikut:
1) Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai
bangunan sistem pemikiran yang ada;
2) Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai
eksisten dan eksistensi;
3) Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai
ranah keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika,
(Farina,2007:tersedia http://permenungan.multiply.com)
Dari penjelasan tersebut,
dapat menyimpulkan bahwa ontologi merupakan salah satu diantara lapangan
penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani
yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya,
ontologi membicarakan tentang hakikat dari suatu benda atau sesuatu. Hakikat
disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara,
menipu, dan berubah).
B. Epistimologi Sains
1. Pengertian
Epistemologi Sains
Cabang
filsafat yang secara khusus merefleksikan pertanyaan-pertanyaan mendasar
sekaligus menyeluruh tentang pengetahuan yaitu epistemologi. Secara etimologis,
epistemologis berasal dari Yunani, yakni episteme
yang berarti pengetahuan dan logos
yang berarti perkataan, pikiran, ataupun ilmu. Oleh karena itu, epstemologis
adalah suatu cabang dari filsafat yang hendak membuat refleksi kritis terhadap
dasar-dasar dari pengetahuan manusia. Oleh karena itu, epistemologi sering juga
disebut sebagai teori pengetahuan (Theori
of knowledge), (Wattimena, 2008:29).
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang
berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya: metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis,
(Zahra. 2005. http://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi).
Kata sains berasal dari bahasa latin ” scientia ”
yang berarti pengetahuan. berdasarkan webster new collegiate dictionary definisi dari sains adalah “pengetahuan yang diperoleh
melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu
kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan
dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah
sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan
eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi
di alam. pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan
melalui metode tersebut atau bahasa yang lebih sederhana, jadi epistemologi sains
adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode
tertentu. (http: // definisimu. blogspot. com/2012/08/ definisi-sains.html)
Sains
dengan definisi diatas seringkali disebut dengan sains murni,
untuk membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya
diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam
b. Sosial sains atau Ilmu Pengetahuan Sosial
Berikut ini adalah contoh dari begitu banyak
pembagian bidang-bidang sains, khususnya natural sains atau IPA
1) Biologi (Biology) : Anatomi,biofisika,genetika,
Ekologi, Fisiologi, taksonomi, virulogi, zoologi, dll
2) Kimia (Chemistry) : Kimia Analitik,
Elektrokimia, Kimia organik, kimia anorganik, ilmu material, kimia polimer,
thermokimia
3) Fisika (Physics) : Astronomi, fisika nuklir,
kinetika, dinamika, fisika material, optik, mekanika quantum, thermodinamika
4) Ilmu Bumi (Earth Science) : Ilmi lingkungan,
geodesi, geologi, hydrologi, meteorologi, paleontologi, oceanograf
2. Sumber
Sains Saling Melengkapi: Wahyu, Rasio/akal, Indera, Intuisi
a.
Wahyu
Hubungan antara ilham dan wahyu,
Ahmad Zuhri mengutip pendapat al-Ghazali yaitu, bahwa ilham dan wahyu mempunyai
sumber yang sama, demikian juga dengan sebagian makna-maknanya. Ilham dan wahyu
merupakan ilmu rabbani yang diajarkan kepada manusia, keduanya adalah
cara memperoleh ilmu (Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan
Alquran Versi Imam Al-Ghazali, (Ahmad. 2007:30).
Islam meyakini bahwa sumber utama
dari segala ilmu dan pengetahuan manusia dalam tak lain adalah wahyu Ilahi.
Semua yang terkandung dalam wahyu adalah benar adanya. Penilaian terhadap
sesuatu hampir semuanya merujuk kepada wahyu. Dari sisi lain, wahyu menekankan
pentingnya menjaga dan mempotensialkan ketiga sumber ilmu pengetahuan yang telah
disebutkan sebelumnya. Ketertinggalan dan kemunduran manusia dalam memeroleh
ilmu pengetahuan tak lain disebabkan oleh diri manusia itu sendiri, yang lalai
dan malas menggunakan segala potensi yang telah dianugerahkan kepadanya.
Kalangan kaum muslimin terdapat dua
tipe pemikiran. Pertama, wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan ilmiyah, dan
kedua, wahyu sebagai petunjuk. Jalaluddin al-Suyuthi, Muhammad Shadiq
al-Rafi’i, Abd al-Razzaq al-Naufal dan Maurice Bucaille, mereka tergolong
kepada kelompok pertama. Sedangkan Ibn Ishak al-Syathibi termasuk kelompok
kedua. Mahdi Ghulsyani memilih berada di antara dua kelompok tersebut. Ia
menekankan wahyu itu sebagai petunjuk bagi manusia yang mengandung ilmu
pengetahuan dan manusia itu diperintahkan untuk senantiasa menggunakan indera,
akal, dan hatinya untuk menggali pengetahuan dari alam ini atas bimbingan wahyu
itu sendiri, (Mahdi Ghulsyani.Filsafat Sains Menurut Alquran.
2009:131).
b.
Rasio/Akal
Rasionalisme berpendirian bahwa
sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari
nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis
perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang
sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau
menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita
dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Senses/Indera
Sebagai salah
satu sumber (sebagian orang menyebutnya alat) pengetahuan, indera mempunyai
peranan yang amat penting. Begitu pentingnya sehingga oleh aliran filsafat
empirisme, indra dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Indera
adalah sumber awal menuju pengenalan terhadap alam sekeliling kita.
Bagi kelompok
filosofis rasionalis seperti Baqir al-Sadr, indera merupakan sumber pemahaman
untuk gambaran (tasawwur) dan berpikir (al-ifkar) yang sederhana,
bahkan di sana terdapat fitrah dalam mental yang membangkitkan tingkat gambaran,
( Al-Sadr, 1977:59). Ia mencontohkan betapa kesimpulan teori gravitasi
oleh ilmuan alam dikarenakan dengan hasil penemuan hukumnya bukan menginderai
hukum tersebut, dan kesimpulan itu bersifat rasio.
Ibnu Sina,
dengan teorinya yang sangat popular tentang “al-nafs” (jiwa), mengatakan
bahwa pengetahuan manusia berasal dari indera luar dan indera dalam (batin).
Indera luar memberi suatu pengalaman, kemudian pengalaman itu dirasionalkan
oleh indera dalam menjadi pengetahuan. Mengetahui dari luar maksudnya dengan
panca indera, yaitu: indera melihat (al-Bashr), mendengar (al-sama’),
mencium (al-samma), merasa dengan lidah (al-zauq), dan merasa
dengan sentuhan (al-lam)
d.
Intuisi
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi
lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat memahami pengalaman langsung
kadang-kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal
objeknya secara lebih akrab dan langsung.
Secara umum, yang paling banyak
berkutat dengan masalah hati ini adalah para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina
pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhir. Ibnu
Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati
bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan ESP (entra
sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
Sejarah realitas pengalaman mistik
dalam Islam dapat dilihat antara lain dengan munculnya tokoh-tokoh besar di
bidang ini, semisal Ibnu Arabi; seorang mistikus terbesar sepanjang sejarah
perkembangan tasauf dengan karya-karya masterpiece-nya antara lain Fusus
al-Hikam dan al-Futuhat al-Makkiyah tidak lain merupakan hasil
pengalaman-pengalaman intuitifnya, atau Ibnu Tufail dengan “Hayy bin Yaqzan”-nya.
Di sisi lain, Muhammad Taqi Ja’far
(seorang ahli tasauf yang mempopulerkan istilah tasauf positif) menilai bahwa
terdapat hubungan yang erat, sejalan dan tidak terpisahkan antara tasauf dengan
sains dan akal. Memisahkan sains dan akal dari tasauf sama seperti menutup dua
celah yang dilalui oleh cahaya kebenaran yang menerangi jalan sang musafir.
Sains adalah cahaya penerang bagi fakta-fakta untuk mengetahui cara-cara,
alat-alat, hukum alam, serta batas-batas tujuan dan orientasi. Akal adalah
pengatur dalam diri kita untuk bisa mempersepsi fenomena sensual, aktifitas
mental, abstraksi untuk generalisasi, angka-angka, simbol-simbol pelaksana
operasi matematik dan sebagainya. Akal dan sains adalah penghubung antara
manusia dan kenyataan. (Bakhtiar, 2005).
3.
Cara
Memperoleh Pengetahuan Sains
Pengalaman manusia sudah berkembang
sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang
mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan
itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.
Perkembangan sain didorong oleh
paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa
manusia mampu mengatur dirinya danalam (Tafsir. 2010:6). Humanisme telah muncul
pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).
Bagaimana membuat aturan untuk
mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani
Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi,
manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.
Bagaimana membuatnya dan apa
alatnya? Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit
sekali menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak
mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua,
mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk
mengatur alam. Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber
pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama,
karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap roang bekerja
berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal
setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka,
Humanisme melahirkan Rasionalisme.
Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa
akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan
akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Empirisme ialah paham filsafat
yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Empirisisme hanya sampai pada
konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini
panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata
Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, matahari sangat besar.
Demikianlah seterusnya. Namun, empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya
umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih
diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.
Positivisme mengajarkan bahwa
kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang terukur. “terukur”
inilah sumbangan penting positivisme. Metode ilmiah mengatakan, untuk
memperoleh yang benar dilakukan langkah berikut :
logico-hypothetico-verificatif. Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis,
kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah
kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan
dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan
Model-model Penelitian. Nah, Model-model Penelitian inilah yang menjadi
instansi terakhir dan memang operasional dalam membuat aturan (untuk mengatur
manusia dan alam) tadi.
Dengan menggunakan Model Penelitian
tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita
warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain.
Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah
pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan
seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut:
Humanisme

Rasionalisme

Empirisme

Positivisme
![]() |
Metode Ilmiah
![]() |

Model-model Penelitian

Aturan untuk Mengatur Alam
A. Aksiologi Sains
1. Pengertian Aksiologi Sains
Aksiologi berasal dari kata axios yakni
dari bahasa Yunani yang berarti nilai, sesuatu yang berharga dan logos yang
berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai”
(Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S.
Suriasumantri, 2000: 105). Menurut John Sinclair,
dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem
seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu
yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Tafsir (2007: 25) berpendapat bahwa aksiologi
adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mulai dari klasifikasinya, kemudian
dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri, akhirnya dilihat
perkembangannya.
Aksiologi adalah ilmu
yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi
merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau
kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan
di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai
ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang tidak benar (Jujun, 1996
: 136).
2.
Kegunaan Aksiologi Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu.Ilmu tidak bebas nilai.Artinya pada
tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya
dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama,
bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Menurut (Samad, 2012,
tersedia http/philosophycomunity.com) Dalam aksiologi, ada dua penilain yang
umum digunakan yaitu;
1) Etika
Etika adalah cabang
filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan
menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai
masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku
Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran
kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di
atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda
dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah
dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.Tujuan dari
etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang
ia lakukan.
Didalam etika, nilai
kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah
tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap
diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai Sang Pencipta.
2) Estetika
Estetika merupakan bidang
studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung
arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara
tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh.
Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras
serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Aksiologi berkenaan
dengan nilai guna ilmu,baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah
lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan
ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.Berkaitan dengan hal ini,menurut
Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun (1996 : 137) yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”
apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.
Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan
tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Nilai kegunaan ilmu,
untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga
hal,yaitu:
2) Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan
mereaksi dunia pemikiran, jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut
mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu
sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori
filsafat ilmu.
3) Filsafat sebagai pandangan hidup
Filsafat dalam posisi
yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan
dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.
4) Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam
hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap
keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan
akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada
banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling
rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia, (Bakhtiar,
2007:165)
Nilai
itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif.Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu
melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila
subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian.Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, (Bakhtiar, 2007:166).
3. Objek Kajian Aksiologi Sains
a.
Makna
Nilai Dalam Perspektif
Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika dimana makna etika memiliki dua arti yaitu
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia ddan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan perbuatan , tingkah laku,
atau yang lainya.
1) Aksiologi Sains Barat
Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan beragam kemudahan bagi kehidupan
manusia. Namun selain itu, di pihak lain ilmu juga dapat berakibat sebaliknya
yaitu membawa kehancuran dan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu
pengetahuan yang pada dasarnya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai
dipertanyakan apakah berkaitan erat dengan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu
dengan nilai moral dan agama sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus
(1473-1543) mengemukakan teori bumi yang berputar mengelilingi matahari,
sedangkan ajaran agama pada saat itu menilai sebaliknya. Disitulah timbul
konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik, yang akhirnya berujung pada
pengadilan Galileo (1564-1642) yang dipaksa mencabut pernyataannya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari. Pengadilan Inkuisisi yang berlangsung selama
kurang lebih dua setengah abad ini mempengaruhi proses perkembangan berpikir di
Eropa. Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan Barat berjuang untuk menegakkan ilmu
berdasar penafsiran alam sebagaimana semboyan “ilmu yang bebas nilai”. Setelah
pertarungan itulah para ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh
keotonomian ilmu, artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka
mempelajari alam sebagaimana adanya (Suriasumantri, 1999:233).
Setelah ilmu
mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik,
ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak
maupun konkret seperti teknologi. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana dengan
teknologi yang menimbulkan ekses yang negative terhadap masyarakat? Dihadapkan
dengan masalah moral dalam ekses ilmu yang bersifat merusak, para ilmuwan
terbagi dalam dua golongan pendapat:
a) Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai (Suriasumantri, 1999:235). Dalam hal ini, ilmuwan
hanya menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk hal yang baik maupun buruk.
b) Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu
terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral dan harus ditujukan untuk
kepentingan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat
kemanusiaan, dengan alasan bahwa ilmu:
·
Secara faktual telah
digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang menggunakan teknologi-teknologi keilmuan,
·
Ilmu telah berkembang
dengan pesat sehingga ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin
terjadi bila terjadi penyalahgunaan, dan
·
Ilmu telah berkembang
sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik perbuatan sosial (Suriasumantri, 1999:235).
Dalam kaitannya dengan
kaidah moral, pengembangan ilmu dan teknologi jika mengabaikan nilai-nilai etis
maka akan menimbulkan dampak buruk. Penemuan nuklir dapat menimbulkan bencana
perang, penemuan detektor dapat mengintai kenyamanan dan privasi orang lain,
penemuan bayi tabung dapat mengancam peradaban perkawinan, maupun contoh
lainnya.
2) Aksiologi Sains Islam
Sejak awal
kehadirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.
Wahyu pertama yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad adalah "iqra'"
atau perintah untuk membaca. Jibril memerintah Muhammad untuk membaca dengan
menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Jadi, dari kata iqra' inilah, umat
Islam diperintah untuk membaca yang kemudian lahir makna untuk memahami,
mendalami, menelaah, menyampaikan, maupun mengetahui dengan dilandasi "bismi
rabbik", dalam arti, hasil-hasil bacaan dan pemahaman itu nantinya dapat
bermanfaat untuk kemanusiaan (Shihab, 2001:433). Al Qur’an dan hadits kemudian
dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spectrum
yang seluas-luasnya (Achmadi, 2005:33).
Ilmu pengetahuan dalam
sejarah tradisi Islam tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali,
melainkan pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan
manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh. Eksistensi ilmu
pengetahuan bukan saja untuk mendesak pengetahuan, melainkan kemanusiaanlah
yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka
penghambaan diri kepada Yang Maha Pencipta. Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteknya,
dan agama yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada
tujuan hakikinya, yaitu memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah,
agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak
mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada praksisnya atau kemudahan-kemudahan
pada material duniawi.
Solusi yang diberikan
Al Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikan dengan nilai adalah dengan
cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi
berkah dan rahmat bagi manusia dan alam, bukan sebaliknya membawa mudharat atau
penderitaan (Tafsir, 1997:173). Ilmu tidaklah bebas nilai, karena antara logika
dan etika harus berdialektika, jadi bukan hanya penggabungan ilmu dan agama
saja. Akal digunakan dengan mengoperasionalkan otak, berusaha mencari kebenaran
sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan masing-masing. Hal ini akan
menimbulkan logika yang menjadikan manusia sebagai seorang intelektual atau
ilmuwan. Dalam Islam, ilmu senantiasa didasarkan pada Al Qur'an agar tidak
bebas nilai. Nilai
dalam Islam tidak berdasarkan sesuatu adat dan budaya tetapi berdasarkan wahyu
dan kehendak Allah. Melakukan yang wajib adalah diperintah oleh
Allah dan disukaiNya sehingga mendapat ganjaran kebajikan. adapun jika
melakukan yang haram dan dibenci oleh Allah maka pantas baginya balasan yang
buruk.
Seorang ilmuwan muslim
tidak hanya diharapkan berkata benar,namun juga baik,indah dan bernilai,
misalnya jika seorang ilmuwan sekuler berkata bahwa untuk bebas dari penyakit
kelamin harus memakai kondom jika berhubungan dengan pelacur, maka ilmuwan
muslim berkata bahwa berhubungan dengan pelacur itu dilarang dalam islam.
Contoh lain dari kebenaran akal yang tidak beretika moral misalnya menceraikan
istri yang tidak dapat memberi anak, sistem perang atau jihad yang tidak
berperikemanusiaan, menampar murid yang tidak bisa menjawab soal, dan lainnya.
Prinsip-prinsip semua
ilmu dipandang oleh kaum muslimin berada dalam Al Qur'an, dan Al Qur'an dan
hadits menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan
keutamaan menuntut ilmu, dan pencarian ilmu apapun pada akhirnya bermuara pada
penegasan tauhid. Dalam perjalanan ilmu dalam dunia Islam, para ilmuwan Muslim
berangkat dari membaca Al Qur'an dalam proses penemuannya, misalnya Abu Musa al
Jabir ibn Hayyan (721-815), Muhammad ibn Musa al Khawarizmi (780-850), Tsabit
ibn Qurrah (9100), Ibn Sina (926), Al Farabi (950), Ibn Batutah (1304-1377),
Ibn Khaldun (1332-1406), dan masih banyak tokoh lainnya (Achmadi, 2005:12).
3) Perbandingan Aksiologi Sains Islam dan Barat
Dalam kaitannya dengan
aksiologi, Sains Barat mengakui otonomi ilmu secara murni dengan kebebasan
mempelajari ilmu sebagaimana adanya. Dalam kaitannya dengan nilai moral, secara
garis besar sains Barat terbagi menjadi dua pandangan:
·
Golongan ilmuwan yang
menganggap bahwa ilmu haruslah berdiri atas otonominya sendiri, netral, dan
tidak terikat pada nilai moral apapun.
·
Golongan yang
berpendapat bahwa penggunaan ilmu harus tetap berlandaskan pada moral dan etika
tanpa merendahkan martabat manusia.
Adapun aksiologi sains
Islam berpandangan bahwa:
·
Sumber
ilmu dan nilai yang utama dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kedua sumber ini mengajar
manusia nilai-nilai etika dan estetika, sosial, keadilan, keikhlasan,
kejujuran, kesopanan, kesetiaan, amanah, tanggungjawab dan lainnya.
·
Setiap
muslim wajib mempelajari Al-Quran dan
Al-Sunnah, memahaminya dan merealisasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya.
·
Sistem
nilai dalam Islam ditetapkan oleh Allah dan dinilai olehNya, setiap muslim
terikat dengan nilai ini.
b.
Sains
Bebas Nilai (Volue Free) Versus Sains Terikat Nilai (Volue Bound)
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah
polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita
sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal
sebagai value bound.
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu
pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan
penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun
penggunaan produk penelitian (Bebas Mutlak). Sedangkan bagi ilmuwan
penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya.
karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Dengan demikian paham pengetahuan
yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan
baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu
manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi
manusia.
Jika dipahami kembali,
makna bebas dapat memeiliki dua makna. Pertama, kemungkinan unutuk memilih.
Kedua, kemampuan atau hak untuk menentukan subjeknya. Secara umum, teori artinya
pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori
filsafat berupa argumen perasaan atau
keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori
sain. Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan
teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi,
sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
Dalam
kehidupan sehari-hari, tentunya pengetahuan sains memiliki nilai guna yang
membatu hubungan kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Paling sedikit ada
tiga kegunaan teori sains antara lain sebagai alat eksplanasi, sebagai alat
peramal dan sebagai alat pengontrol.
1)
Teori Sebagai Alat Eksplanasi
Sains
merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan dibandingkan
dengan sistem lainnya dalam mempelajari masa lampau, menjalani masa sekarang,
serta mempersiapkan untuk masa depan, (T. Jacob, 1993). Menurut teori sains
pendidikan, anak-anak yang orang tuanya cerai atau sering disebut broken
home, pada umumnya akan berkembang menjadi anak yang nakal.
Penyebabnya ialah karena anak-anak itu tidak mendapat pendidikan yang baik dari
kedua orang tuanya. Padahal pendidikan dari kedua orang tua amat penting dalam
pertumbuhan anak menuju dewasa.
2)
Teori Sebagai Alat Peramal
Ketika
membuat eksplanasi, biasanya para ilmuwan telah mengetahui faktor yang
menyebabkan timbulnya suatu gejala. Dari faktor tersebut para ilmuwan dapat
membuat sebuah ramalan atau prediksi. Sebagai contoh, jika banyak kasus
perceraian antara hubungan rumah tangga, maka dapat diramalkan bahwa kenakalan
remaja akan meningkat, meningkatnya aksi anarkis remaja seperti pada kasus geng
motor.
3)
Teori Sebagai Alat Pengontrol
Eksplanasi
merupakan bahan untuk membuat ramalan atau prediksi dan alat pengontrol.
Perbedaan antara prediksi dengan alat pengontrol adalah prediksi lebih cenderung
bersifat pasif, karena ketika timbul gejala tertentu, maka kita dapat membuat
prediksi, misalnya akan terjadi keadaan atau kondisi tertentu pula. Sedangkan
alat pengontrol lebih bersifat aktif terhadap sesuatu keadaan, contohnya kita
membuat tindakan efektif yang mampu meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari
adanya suatu gejala tersebut.
Kita
mengambil contoh seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yakni jika banyak
kasus perceraian maka timbul prediksi kenakalan remaja akan meningkat. Dalam
kasus ini kenakalan remaja disebabkan oleh minimnya perhatian orang tua
terhadap perkembangan emosional anak mereka, sehingga mereka mencari sendiri
guru yang mampu mengajari mereka bagaimana cara bertahan hidup. Untuk mencegah
meningkatnya kenakalan remaja yang disebabkan oleh perceraian orang tua mereka,
maka harus diadakannya tindakan yang preventif dari kerabat dekat mereka
seperti kakek atau nenek, paman atau bibi yang menggantikan peran orang tua
mereka. Tindakan inilah yang disebut dengan ilmu sains sebagai alat pengontrol.
Pada tahun 1970-an terjadi polemik
antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan
Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya
memancing, ia tidak sungguh-sungguh
berpendapat begitu. Dalam ujaran Mukti
Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat
digunakan untuk membunuh (salah satu
perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan
untuk kebaikan dan dapat pula untuk
kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.
Netral biasanya diartikan
tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian
itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering
diganti dengan istilah sains bebas nilai.
Nah, bebas nilai (value free) itulah
yang disebut sains netral; sedangkan
lawannya ialah sains terikat, yaitu terikat nilai (value bound). Sekarang, manakah yang benar, apakah sains seharusnya value free atau value bound? Apakah sains itu sebaiknya bebas nilai atau terikat nilai?
Apa untungnya bila sain
netral? Bila sains itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sains
sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sains akan cepat terjadi.
Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih
dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala
menggunakan produk penelitian (Tafsir, 2004:16).
Tatkala akan meneliti kerja
jantung manusia, orang yang beraliran sains tidak netral akan mengambil mungkin
jantung kelinci atau jantung hewan lainnya yang paling mirip dengan manusia.
Orang yang beraliran sains netral mungkin akan mengambil orang gelandangan
untuk diambil jantungnya. Orang yang beraliran sains value bound, dalam
epistemologi akan meneliti jantung itu tidak dengan menyakiti kelinci itu,
sementara orang yang menganut sains value free tidak akan mempedulikan apakah subjek penelitian menderita atau
tidak.
Orang yang beraliran sains
netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang
bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja.
Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun
aksiologi sains. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas
objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil
penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu.
Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti.
Apa kerugiannya bila kita
ambil paham sains netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham
sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya
keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan
diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral
akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses
reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut
sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum
nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya
sperma dan ovum.
Peneliti yang menganut sain
tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada
aspek epistemologi. Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham
sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi. Mereka dapat
saja menggunakan hasil penelitian mereka untuk keperluan apapun tanpa
pertimbangan nilai. Paham sain netral sebenarnya telah melawan atau menyimpang darimaksud penciptaan sain.
Tadinya sain dibuat untuk membantu manusia dalam menghadapi kesulitan hidupnya.
Paham ini sebenarnya telah bermakna bahwa sain itu tidak netral, sain memihak
pada kegunaan membantu manusia menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh manusia.
Sementara itu, paham sain netral justru akan memberikan tambahan kesulitan bagi
manusia. Kata kunci terletak dalam aksiologi sain, yaitu ini: tatkala peneliti
akan membuat teori, sebenarnya ia telah berniat akan membantu manusia
menyelesaikan masalah dalam kehidupannya, mengapa justru temuannya menambah
masalah bagi manusia? Karena ia menganut sain netral padahal seharusnya ia
menganut sain tidak netral.
Berdasarkan uraian
sederhana di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa yang paling bijaksana ialah
kita memihak atau memilih paham bahwa sain tidaklah netral. Sain itu bagian
dari kehidupan, sementara kehidupan itu secara keseluruhan tidaklah netral. Paham
sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai
pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak
ada jalan bagi penganut sain netral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar