PROFESIONALISASI BIMBINGAN
DAN KONSELING
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur
Mata
Kuliah : Bimbingan Konseling
Dosen
: Dra. H. Nurul Azmi, M.Ag
Disusun
oleh :
Kelompok 3
1. Bonita Anestesia2. Diana Yulianti3. Etin Ratnaetin4. Fitriyana
IPA-BIOLOGI A/ 4
JURUSAN IPA
BIOLOGI FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI
2012
PENDAHULAUN
1.1
Latar
Belakang
Bimbingan
dan Konseling, khususnya bimbingan dan konseling dalam setting sekolah
dipandang merupakan profesi. Namun, pandangan mengenai status profesi ini masih
terbelah, ada pihak yang mengatakan bimbingan merupakan profesi dan sudah
terprofesikan, sebaliknya ada pihak yang menyatakan bukan. Lepas dari itu, di
Indonesia bimbingan dan konseling merupakan bidang pekerjaan baru, menjadi
salah satu dan berada di tengah bidang- bidang pekerjaan lain yang ada. Karena
sifatnya baru, status profesi bimbingan dan konseling masih menjadi bahan
perbincangan akademis, sementara itu di Indonesia bidang pekerjaan bimbingan
dan konseling terus mengalami perkembangan.
Bimbingan
dan Konseling masih mencari jati diri sebagai profesi dan mencari tempatnya di
dalam keseluruhan sistem pendidikan kita. Hal ini mengingat disamping bimbingan
dan konseling ada profesi- profesi lain yang bersifat sebagai profesi bantuan,
seprti psikologi klinik, pekerjaan sosial, psikoterapi. Batas- batas antara
mereka tidak jelas masing- masing mengklaim keberhasilan yang sama. Bimbingan
dan Konseling di dalam sistem pendidikan kita masih baru , sehingga untuk kerja
dan sumbangannya belum semua pihak mengenal, menerima dan mengakuinya.
Tujuan
pengembangan bimbingan dan konseling
mendapat tantangan oleh dua kenyataan , yaitu jati diri profesi dan
pengharapan agar peran dalam dunia pendidikan dan dunia kerja yang yang serba
tidak menentu.
1.2
Rumusan
Masalah
A. Apa
pengertian Profesionalisasi?
B. Bagaimana Status Profesi Bimbingan dan Konseling?
C. Bagaimana
Kriteria Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling?
D. Bagaimana
Usaha- Usaha Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling?
E. Bagaimana
Peningkatan Mutu Konselor?
PROFESIONALISASI
BIMBINGAN
DAN KONSELING
A. Pengertian Profesionalisasi
Profesi yaitu
suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya.
Artinya, pekerjaan yang disebut profesi itu tidak bisa dilakukan oleh orang
yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk
melakukan pekerjaan itu.[1]
Profesionalisasi
menunjukan pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota
suatu profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai
anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian
proses pengembangan keprofesionalan, baik dilakukan melalui pendidikan/ latihan
pra- jabatan (pre- servie training)
maupun pendidikan/ latihan dalam jabatan (in-
service training). Oleh sebab itu, profesionalisasi merupakan proses yang
berlangsung sepanjang hayat dan tanpa henti.[2]
B.
Status
Profesi Bimbingan dan Konseling
Menurut
pendapat para ahli antara lain Liberman, 1956; Goode, 1960; Mccully dan Miller,
1969; dan Pavolko, 1971 yang dikutip
Munandir (2000) dapat dirangkumkan secara garis besar ciri atau kriteria
profesi, yaitu:[3]
1. Pekerjaan
yang disebut profesi bersifat sebagai layanan kepada masyarakat umum.
2. Pekerjaan
yang disebut profesi adalah (a) khas dan jelas batas- batasnya, (b)
dilaksanakan dengan cara- cara ilmiah, dan (c) dilaksanakan oleh petugas khusus
yang memiliki kewenangan yang diakui oleh badan resmi pemberi pengakuan.
3. Ada
sistem ilmu dan pengetahuan yang mendasari pelaksanaa tugas sebagai hasil
pengembangan melalui proses ilmiah. Ilmu dan pengetahuan itu dipelajari pada
jenjang pendidikan tinggi.
4. Untuk
memperoleh kewenangan menjalankan tugas profesi dipersyaratkan pendidikan
keahlian khusus tingkat tinggi yang memakan waktu panjang.
5. Anggota
suatu profesi dituntut memiliki kecakapan minimum yang ditetapkan dengan
menerapkan patokan seleksi, pendidikan dan perizinan untuk menjalankan
paraktek.
6. Dalam
menjalankan tugas layanan kemasyarakatan anggota profesi (a) lebih mengutamakan
kepentingan umum, atau pihak yang memerlukan layanan bantuan, daripada
kepentingan pribadi (memperoleh keuntungan material atau mencari popularitas
pribadi), dan (b) selalu memperhatikan dan mematuhi ketentuan- ketentuan
tentang aturan sopan santun bertingkah laku (kode etik) ketika menjalankan
tugas profesinya.
7. Para
anggota profesi bergabung di dalam suatu himpunan dan berperan aktif di dalamnya.
Himpunan ini merupakan wadah para anggota untuk saling bertukar pikiran dan
berbagai pengalaman dengan tujuan memajukan kemampuan dan keterampilan
menjalankan tugas.
8. Para
anggota profesi terus menerus memajukan diri dengan melakukan bacaan teknis
ilmiah (jurnal), kegiatan penelitian dan keikutsertaan di dalam pertemuan-
pertemuan ilmiah profesional seperti konvensi, seminar, simposium yang
diselenggarakan oleh organisasi. Semua itu dilakukan agar anggota profesi dapat
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir bidang profesinya, yang akan
berdampak meluaskan wawasan serta meningkatkan kemampuan dan keterampilan profesionalnya.
C.
Kriteria
Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling
Dari penjelasan
diatas, dikomparasikan dengan kriteria atau persyaratan profesionalisasi
bimbingan dan konseling, maka kriteria sebagai berikut:[4]
1. Bersifat layanan kemasyarakatan
Bimbingan dan
konseling dijalankan selaku usaha pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah.
Di sekolah, kehadiran bimbingan dikukuhkan sejak berlakunya kurikulum 1975.
Tujuan bimbingan dan tujuan pendidikan mempunyai nilai kemasyarakatan.
Bimbingan dan konseling selaku bagian dari program pendidikan sekolah mengembanamanat
khususnya di bidang pengembangan kepribadian dan usaha- usaha memajukan taraf
kesejahteraan jiwa anak.
2. Khas dan jelasnya tugas
Bidang tugas
layanan suatu profesi harus jelas bedanya dengan bidang tugas profesi yang
lain. Sifat inilah yang rupanya tidak begitu nyata. Konseling sebagai suatu
bentuk layanan bimbingan, juga dilakuakan oleh profesi- profesi yang lainnya
seperti psikolog klinik, psikoterapi, psikiater, dokter dan guru. Dalam praktek
di sekolah, realitanya konselor juga diberikan tugas seperti mengajar dan
menangani urusan tata tertib di sekolah. Banyak konselor merangkap tugas
pengajaran, sebaliknya guru melakukan semacam konseling juga terhadap siswa-
siswa yang mengalami masalah.
3. Penggunaan cara- cara ilmiah
Pengamatan di
lapangan menunjukan bahwa kinerja para
petugas BK dalam melaksanakan bimbingan di sekolah- sekolah belum memiliki
ciri- ciri yang ilmiah secara universal. Alasannya antara lain adalah kurangnya
pengetahuan para petugas BK di sekolah dewasa ini tidak mempunyai latar
belakang pendidikan khusus BK. Masalahnya diperparah kareana miskonsepsi ini
umum terdapat di kalangan staf sekolah umumnya, bahkan tidak jarang termasuk
kepala sekolah sendiri. Semua itu disebabkan kurangnya pengetahuan dan pengertian
mereka tentang bimbingan dan konseling.
4. Petugas yang berwenang dan standar seleksi
Bimbingan sekolah dijalankan oleh petugas yang umumnya tidak berlatar belakang pendidikan khusus. Ini membuahkan kurangnya kewenangan petugas. Masalah ini berkaitan erat dengan kurangnya jumlah tenaga khusus bimbingan dan konseling. Sebagian besar dari petugas bimbingan adalah guru yang dialihtugaskan menangani program bimbingan karena desakan kebutuhan. Kurangnya tenaga bimbingan dan konseling berpendidikan khusus di sekolah sebetulnya pada tahun 1980-an sudah diatasi melalui usaha- usaha pembaharuan oleh LPTK, diantaranya lulusannya harus tamatan S1 dan S2 program Bimbingan dan konseling.
D.
Usaha-
Usaha Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling
Dimasa sekarang
ini pertumbunhan dan perkembagan bimbingan dan konseling disekolah-sekolah
telah mencapai kemajuan yang signifikan. Namun masih banyak yang harus
dikerjakan untuk menjadi bimbingan dan konseling profesi yang sebenar-benarnya.
Di Indonesia,
usaha-usaha memajukan profesi ini tidak
bisa diharapkan akan dilakukan oleh organisasi profesi sepenuhnya. Campur
tangan dari pihak birokrasi pemerintahan, jalur structural terasa sekali dan
kelihatan lebih menonjol. Sebagai contohnya, dalam penyusunnya kurikulum peran
pemerintahan sangat besar. Demikian pula soal akreditasi lembaga pendidikan dan
sertifikasi. Di Negara kita, pada tahap perkembangannya, diperlukan pendekatan
bersama kedua jalur, yaitu jalur fungsional organisasi profesi) dan jalur
structural.
Usaha-usaha kearah
pelibatan organissai profesi bimbingan dan konseling telah dimulai nampak dalam
implementasinya. Diantara usaha-usaha itu ada tiga macam yang mempunyai nilai
dan arti profesionalisasi bimbingan, diantaranya:[5]
1) Keterlibatannya
dalam kegiatan-kegiatan penyusunan kurikulum pendidikan konselor.
2) Pengembangan
pekerjaan konselor (membimbing dan mengkonseling) sebagai jabatan fungsional.
3) Perantara
pelatihan guru pembimbing tingkat nasional bekerjasama dengan pihak resmi,
(Depdikbudi, 1999).
Kode etik
merupakan tanggung jawab setiap individu konselor yang menuntut disiplin diri
yang tinggi untuk menaati dan menegakkannya. Tetapi secara sistem, ini semua
tanggung jawab organisasi IPBI dan divisi-diviasinya.
Usaha-usaha
professionalisasi bimbingan dan konseling menjadi tanggung jawab para warga
professional selaku pribadi dan juga tanggung jawab IPBI selaku organisasi.
Dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti menegakkan kode etik dengan terus
menerus meningkatkan kemampuan kerjanya melalui berbagai cara dan pendekatan, melakukan
riset dan aktif mengikuti pertemuan dan kegiatan yang diorganisir oleh IPBI dan
sebagainya, hakekatnya penyumbang bagi usaha memajukan profesi.
E.
Peningkatan
Mutu Konselor
Kualitas
konselor merupakan salah satu syarat pengembangan profesionalisasi bimbingan
dan konseling. Implementasi bimbingan dan konseling untuk menuju profesional
masih membutuhkan waktu dan kemampuan di segala bidang. Diantaranya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan mutu konselor,
(Munandir, 2000) yaitu :[6]
1) Perbaikan mutu masukan mahasiswa.
Mutu lulusan pendidikan sangat bergantung pada mutu masukan mahasiswa.
Konseling adalah pekerjaan yang menuntuk tenaga pelaksana yang cerdas,
menguasai pengetahuan dasar, banyak pengetahuan umum dan luas wawasannya, dan
berkepribadian. Dalam konteks keadaan dewasa ini dipertanyakan apakah LPTK bisa
berharap mendapatkan bibit unggul untuk masukannya.
2) Penyempurnaan kurikulum dan
perkuliahan. Pendidikan prajabatan konselor sekolah
perlu dilakukan berkenaan dengan adanya kecaman atas kinerja konselor lulusan
perguruan tinggi. Termasuk dalam pengertian ini adalah peningkatan mutu
praktikum dengan bimbingan intensif dan penilaian yang dipertinggi standar
kelulusannya.
3) Peningkatan kewenanagan dosen.
Peningkatan ini sangat mutlak dan bisa dicapai melalui penerapan standar yang
tinggi untuk seleksi penerimaan dosen baru pada bidang dan profesinya. Untuk
masukan, standar yang dituju hendaknya mereka yang sudah mempunyai pengalaman
mengajar atau berbasis pengajaran yang cukup.
4) Pemberlakuan standar kewenangan
minimum. Mengenai kewenangan, itu termasuk kewenangan
memberikan tes dan instrumentasi bimbingan lainya dan penggunaan pendekatan
bantuan yang ditentukan. Karena adanya bidang-bidang singgung dengan kewenangan
profesi lain seperti psikologi, dan sosiologi, maka perlu kerja sama dengan
pihak yang bersangkutan.
Pengembangan
profesi merupakan proses yang terus menerus. Ini sejalan dengan pengembangan
ilmu yang juga merupakan kegiatan yang tiada hentinya. Profesi merupakan pekerjaan
yang landasannya ilmu dan sementara sifat ilmu berkembang, karena dikembangan
sehingga profesi dan usaha-usaha pengembangannya terus berjalan (Baruth, L.G.
& Robinson, III, E.H, 1987).
Konselor selaku
pekerja yang sadar profesi merasa terpanggil dan ada kebutuhan untuk terus meningkatkan
mutu layanan bantuannya. Keikutsertaan secara aktif di dalam usaha-usaha untuk
pertumbuhan diri dalam jabatan dan keterikatan diri untuk meningkatkan mutu
layanan inipun merupakan tuntutan kode etik, yaitu bahwa setiap tenaga
professional harus berusaha mengikuti dan mematuhinya. Demikian pun para pakar
profesi bantuan dan ilmu-ilmu perilaku yang diberikan, khususnya di perguruan
tinggi program pendidikan konselor, yaitu dosen dan peneliti, melihat bahwa
merekalah pihak yang diharapkan paling berperan dalam usaha-usaha berkelanjutan
pengembangan dan pemutakhitran profesi bimbingan dan ilmu-ilmu pendukungnya.
PENUTUP
1.
Profesionalisasi menunjukan pada proses
peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota suatu profesi dalam
mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu
profesi.
2. Dalam
menjalankan tugas layanan kemasyarakatan anggota profesi (a) lebih mengutamakan
kepentingan umum, atau pihak yang memerlukan layanan bantuan, daripada
kepentingan pribadi (memperoleh keuntungan material atau mencari popularitas
pribadi), dan (b) selalu memperhatikan dan mematuhi ketentuan- ketentuan
tentang aturan sopan santun bertingkah laku (kode etik) ketika menjalankan
tugas profesinya.
3. Kriteria
Profesionalisasi Bimbingan dan Konseling, yaitu; bersifat layanan
kemasyarakatan, khas dan jelasnya tugas, penggunaan cara- cara ilmiah dan
petugas yang berwenang dan standar seleksi
4. Tiga
macam yang mempunyai nilai dan arti profesionalisasi bimbingan, diantaranya:
1) Keterlibatannya
dalam kegiatan-kegiatan penyusunan kurikulum pendidikan konselor.
2) Pengembangan
pekerjaan konselor (membimbing dan mengkonseling) sebagai jabatan fungsional.
3) Perantara
pelatihan guru pembimbing tingkat nasional bekerjasama dengan pihak resmi.
5. Peningkatan
mutu konselor menurut Munandir yaitu; Perbaikan mutu masukan mahasiswa,
penyempurnaan kurikulum dan perkuliahan, peningkatan kewenanagan dosen dan
pemberlakuan standar kewenangan minimum.
[1] Prayitno, dan
Amti, Erman. Dasar- Dasar Bimbingan dan Konseling. 2004. Jakarta : Rineka
Cipta. Hal 338
[2] Ibid. Hal 339
[3] Dra. Masdudi,
M.Pd. Bimbingan dan Konseling ( Persepektif Sekolah). 2010. Cirebon: At-
Tarbiyah Press. Hal 64
[4] Dra. Masdudi,
M.Pd. Op.Cit. Hal 66
[5] Dra. Masdudi,
M.Pd .Op. Cit. Hal 70
[6] Ibid. Hal 71
DAFTAR PUSTAKA
Dra. Masdudi, M.Pd. Bimbingan dan Konseling ( Persepektif Sekolah). 2010. Cirebon: At- Tarbiyah Press
Prayitno, dan Amti, Erman. Dasar- Dasar Bimbingan dan Konseling. 2004. Jakarta : Rineka Cipta